Permainan Sebelah Kamar
Mendung masih menggayut di luar sana, saat kualihkan pandangan dari mikroskop keluar menembus jendela kaca besar yang tertutup dengan rapat dan gedung-gedung tinggi di kejauhan tampak samar-samar. Mungkin sudah turun hujan di daerah sana. Masih terasa dingin juga, walaupun di luar belum turun hujan. Jam dinding di depan sana baru menunjukkan pukul 13:45, berarti masih ada sekitar 15 menit lagi sebelum jam praktikum ini selesai. Seluruh slide preparat sudah kupelajari dan rasanya tidak ada masalah. Seluruh jenis kuman yang ada sudah kukenal. Hanya memang ada 1 preparat yang mungkin sudah tua sehingga agak sulit untuk dilihat, namun akhirnya dapat juga, walaupun membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mencarinya.
Tiba-tiba timbul rasa isengku untuk
minta bantuan Caroline melihat preparat itu, soalnya pikiranku juga lagi
suntuk, sekalian ingin memantapkan keyakinanku.
“Carol, bantu gue dong. Ini preparat apaan sih? Gue susah nih ngeliatnya,” begitu pintaku pada doi.
Caroline nama lengkapnya. Biasanya kupanggil Carol saja. Doi ini anak Surabaya asli. Tubuhnya lumayan besar tetapi cukup proporsional menurutku. Tinggi badannya sekitar 170 cm. Sangat tinggi untuk cewek Indonesia dan yang pasti doi ini punya buah dada yang sangat besar menurutku, seperti buah kelapa mendekati pepaya. Nah, bingung kan anda membayangkannya? Otak doi cukup lumayan berdasarkan pengamatan 2 tahun ini terhadapnya, soalnya dari angka-angka yang diumumkan pada tiap kali kami ujian, doi berada di ranking atas kalau tidak A, ya B.
Caroline nama lengkapnya. Biasanya kupanggil Carol saja. Doi ini anak Surabaya asli. Tubuhnya lumayan besar tetapi cukup proporsional menurutku. Tinggi badannya sekitar 170 cm. Sangat tinggi untuk cewek Indonesia dan yang pasti doi ini punya buah dada yang sangat besar menurutku, seperti buah kelapa mendekati pepaya. Nah, bingung kan anda membayangkannya? Otak doi cukup lumayan berdasarkan pengamatan 2 tahun ini terhadapnya, soalnya dari angka-angka yang diumumkan pada tiap kali kami ujian, doi berada di ranking atas kalau tidak A, ya B.
Oh ya, sistem ujian kami adalah kenaikan
tingkat, jadi tidak ada yang namanya SKS. Pokoknya pegang saja mata
kuliah pokok dan lulus, maka kami dapat naik tingkat. Asal yang minornya
tidak jeblok banget. Terus ada enaknya lagi kalau sudah lulus tingkat 2
pasti jadi, maksudnya jadi dokter. Tidak ada lagi DO (drop out). Mau
kuliah 10 tahun, lima belas tahun atau sampai bosan. Tetapi sekarang
sudah diganti kurikulumnya menjadi sistem SKS yang membuat semakin susah
kali ya?
“Apaan sich.. sini!” pinta doi menanggapi permintaanku.
Terus doi putar mikroskopku ke arahnya, soalnya doi duduknya di depanku, jadi kalau doi mau membantuku tinggal putar badan terus berhadapan. Hanya terhalang oleh ujung meja yang sedikit dibuat tinggi untuk meletakkan stop kontak dan reagen pewarnaan saja. Jadi doi membantuku memperlihatkan mikroskop itu sambil nungging.
“Busyet..,” tuch toket sekarang pas
sekali bisa kulihat dari atas bajunya, soalnya doi memakai baju yang
agak longgar terus nungging, jadi bisa terlihat dari ketinggian dengan
leluasa. Tetapi
kuperhatikan tidak ada bra-nya, terus turun ke bawah tetap tidak
kelihatan ada bra-nya. Tetapi pentil susunya juga tidak keliatan.
Membuat penasaran saja. Kalau bisa kuremas mau aku melakukannya, apalagi
kalau diberikan gratis, betul tidak? Jadi semakin penasaran. Doi ini
memakai bra, apa tidak ya? Tetapi kulihat samping kanan dan kirinya juga
tidak terlihat ada tali bra-nya. Anehnya, kalau doi tidak pakai, masa
doi berani? pikirku. Otak memang mikir tetapi adikku yang di bawah tidak
mikir lagi kali ya? Soalnya langsung kencang saja minta perhatian yang
lebih. Eh, lama-lama sakit juga. Salah setel kali ya? Jadi ya gitu,
dengan gaya seadanya tetapi tanpa menarik perhatian publik tentunya,
kukemudikan dulu ke jalur yang benar sehingga tidak mengganggu
konsentrasi.
Kira-kira 7-8 menit, akhirnya, “Fran,
ini kayanya BTA? Tapi gue ngga yakin betul, eloe liat deh nih, gue udah
passin,” begitu lapor doi.
Dalam hati aku, “Memang betul BTA,” jadi ternyata benar keyakinanku. Apalagi dari 32 preparat yang ada memang kuman itu yang tidak ada di sediaan lainnya. Tetapi untuk menghormati doi, sekaligus menutup rasa dosaku, sudah melihat pemandangan indah dengan gratis, kemudian aku bangun dan memutari meja untuk melihat hasil pemeriksaan yang ditunjukkan oleh doi. Benar, seperti dugaanku. Ya sudah. Tidak lama terus bel bunyi. Kemudian, aku dan teman-teman lainnya mulai membereskan peralatannya dan memasukkannya ke lemari masing-masing, sebab baru dipertanggungjawabkan nanti di akhir semester untuk serah terima ke dosen pengajar labnya. Tidak lama kemudian kami keluar ruangan lab praktikum.
Dalam hati aku, “Memang betul BTA,” jadi ternyata benar keyakinanku. Apalagi dari 32 preparat yang ada memang kuman itu yang tidak ada di sediaan lainnya. Tetapi untuk menghormati doi, sekaligus menutup rasa dosaku, sudah melihat pemandangan indah dengan gratis, kemudian aku bangun dan memutari meja untuk melihat hasil pemeriksaan yang ditunjukkan oleh doi. Benar, seperti dugaanku. Ya sudah. Tidak lama terus bel bunyi. Kemudian, aku dan teman-teman lainnya mulai membereskan peralatannya dan memasukkannya ke lemari masing-masing, sebab baru dipertanggungjawabkan nanti di akhir semester untuk serah terima ke dosen pengajar labnya. Tidak lama kemudian kami keluar ruangan lab praktikum.
Eh, ketika aku sudah di dalam lift untuk turun ke bawah. Sandro, temanku menegurku.
“Fran, jadi ngga?” tanya Sandro. Bertanya apa memaksa, aku jadi bingung.
“Jadi Dro,” seruku setelah sempat termenung sejenak.
“Tolong bilangin ke temen-temen,” lanjutku kemudian sebelum pintu lift itu tertutup dan masih sempat kulihat Sandro mengacungkan ibu jarinya ke atas yang berarti dia mengerti dan menangkap pesanku.
Sampai di bawah, wuiih ramai sekali.
Semua anak-anak berkumpul. Biasa, jam-jam seperti ini anak FE, FIA dan
FH baru saja mau masuk kuliah. Biasanya anak FKIP, khususnya yang
Psikologi lebih sore lagi. Gedung FK ini tepat di tengah-tengah, jadi
anak-anak dari Fakultas lain suka berkumpul di bawah, mereka sedang
duduk-duduk. Setelah memesan makanan kesukaanku, yaitu satekambing untuk
mengisi perut yang hanya sempat diisi pagi tadi dengan semangkok soto
Madura, kucari tempat duduk dan kulihat ada Sandra sedang makan
sendirian.
“San, kosong nich?” tanyaku padanya seraya duduk persis di depannya.
Sebenarnya meja ini cukup untuk berempat, tetapi doi hanya sendirian.
“He eh,” jawabnya singkat dan cukup judes menurut ukuranku.
Anak itu boleh dibilang cantik. Tidak terlalu tinggi, sekitar 165 cm dengan tubuh sedang ideal. Kulitnya putih dengan rambut yang selalu dipotong sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang, seakan memberikan kesan sabar, tetapi yang sering dibicarakan teman-teman adalah judesnya itu yang membuatku juga kadang-kadang tidak betah. Untungnya, aku tipe orang yang easy going, jadi jarang dimasukkan ke hati. Percuma buat kepala pusing. Tetapi yang aku harus angkat topi sama doi, otaknya, sangat encer. Sebetulnya doi masih muda, tetapi katanya waktu SD sempat loncat kelas, jadi saat ini doi masih berusia 17 tahun. Bayangkan, umur 17 tahun sudah tingkat II FK. Aje gilee!
Sebenarnya meja ini cukup untuk berempat, tetapi doi hanya sendirian.
“He eh,” jawabnya singkat dan cukup judes menurut ukuranku.
Anak itu boleh dibilang cantik. Tidak terlalu tinggi, sekitar 165 cm dengan tubuh sedang ideal. Kulitnya putih dengan rambut yang selalu dipotong sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau bicara tenang, seakan memberikan kesan sabar, tetapi yang sering dibicarakan teman-teman adalah judesnya itu yang membuatku juga kadang-kadang tidak betah. Untungnya, aku tipe orang yang easy going, jadi jarang dimasukkan ke hati. Percuma buat kepala pusing. Tetapi yang aku harus angkat topi sama doi, otaknya, sangat encer. Sebetulnya doi masih muda, tetapi katanya waktu SD sempat loncat kelas, jadi saat ini doi masih berusia 17 tahun. Bayangkan, umur 17 tahun sudah tingkat II FK. Aje gilee!
“Kok manyun San?” tanyaku basa-basi sedikit sebelum mulai makan, sebab kulihat juga raut wajah doi agak sepet.
“Ngapain tadi eloe tanya-tanya ke Carol, apa eloe sendiri ngga bisa liat?” tanyanya ketus sekali.
Kaget juga aku, aku di ketusin seperti ini. Tetapi memang benar feelingku, anak ini rasanya agak menaruh hati padaku. Tetapi bagaimana ya? Masalahnya aku belum ingin, paling tidak untuk saat ini. Masalahnya konsentrasiku saat ini adalah ingin jadi dokter dulu. Apalagi aku masih ingin happy-happy saja dulu. Jadi aku tidak tanggapin serius pertanyaan doi.
Tetapi kujawab, “Oh.. bener San, soalnya tuh preparat udah lama kali yah, jadi kaga bagus lagi dan susah bener ngeliatnya. Tapi udah gue tandain kok. Pokoknya ada bunderan kecil di kanan bawah pake tinta hitam, itu adalah BTA (Basil Tahan Asam, biangnya penyakit TBC). Ingat lho di kanan bawah ada bunderan kecilnya. Terus..” Belum sempat kujelaskan semua, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dan bilang, “Jam berapa?”
“Eh.. eloe Ky, bentar yah, abis gue
makan nih,” jawabku dengan penuh rasa syukur karena jadi sekarang kami
tidak berdua saja dengan Sandra. Minimal ada pihak ketiga.
“Ngga.. ngga.. ngga..,” tiba-tiba Sandra nyeletuk dengan nada tinggi dan cukup keras mengatasi kebisingan yang ada di kantin ini, saat Ricky hendak duduk di sampingku.
“San, sebentar..,” pinta Ricky sejurus kemudian, karena doi juga terkejut dengan ucapan Sandra yang demikian tajam dengan nada tinggi.
“Ngga.. ngga.. eloe ngerokok,” sahutnya ketus.
“Ngga.. ngga.. ngga..,” tiba-tiba Sandra nyeletuk dengan nada tinggi dan cukup keras mengatasi kebisingan yang ada di kantin ini, saat Ricky hendak duduk di sampingku.
“San, sebentar..,” pinta Ricky sejurus kemudian, karena doi juga terkejut dengan ucapan Sandra yang demikian tajam dengan nada tinggi.
“Ngga.. ngga.. eloe ngerokok,” sahutnya ketus.
Ricky memandangku meminta persetujuan, tetapi aku sedang malas berdebat, jadi aku hanya angkat bahu dan melanjutkan makan siangku secepatnya, biar tidak terlalu lama.
Selesai makan, aku cepat-cepat pergi.
Peduli amat, walaupun Sandra sepertinya masih sangat kesal, doi pikir
aku tolol sekali ya. Tetapi tidak peduli, yang penting aku selamat.
Betul, tidak? Di lapangan basket tempat biasa geng aku berkumpul, sudah
kulihat cukup lengkap juga anggotanya. Siang hari yang mendung ini masih
sempat kulihat si Paul melakukan lay-up terakhirnya sebelum kuberteriak
untuk berangkat.
Kami berenam, Sandro, Ricky, Paul, Hengky, Mardi yang sudah punya kerja sambilan. Saat ini kami menuju
tempat kostnya Mardi dan terus ke kostku sendiri. Kami berjalan
menyusuri gang-gang sempit di sekitar kampus ini. Kemudian, tidak lama
kami sampai dan langsung naik ke atas, kamarnya Mardi ada di lantai dua.
Di atas sini, seluruhnya ada 12 kamar. Maksudnya, 6-6 saling
berhadapan. Umumnya satu kamar untuk berdua, tetapi Mardi mengambil 1
kamar untuk dia sendiri. Katanya dia tidak bisa belajar serius kalau ada
teman sekamar, apalagi kalau dari lain jurusan, begitu alasannya. Bener
apa tidak, silakan perkirakan sendiri. Sebelum masuk ke kamar Mardi,
aku masih sempat memperhatikan kamar di sebelah Mardi. Masih gelap dan
sepi, barangkali mereka belum pada pulang.
Di kamar Mardi, wuuiih.. hampir seluruh
dinding kamarnya penuh dengan poster dari ukuran yang kecil sampai
sebesar meja belajar. Gambarnya memang tidak terlalu seru, seadanya.
Kesanku sih begitu, berantakan tidak karuan. Yang penting menempel. Di
situ ada gambar Madonna, Prince, Michael Jackson, terus artis-artis dari
yang tidak terkenal dari Hong Kong dan juga Indonesia seperti: Yatti
Octavia dan beberapa gambar pemain sepakbola yang aku tidak ketahui
namanya. Maklum, aku bukan penggemar bola. Setelah kamar dikunci, Mardi
memberikan contoh dengan mengupas perlahan gambar poster tadi di dinding
yang terbuat dari kayu itu, dan segera menempelkan matanya pada lubang
yang ada di balik poster itu. Ya sudah, kami berebutan mencari poster
yang tentunya sesuai dengan ukuran tinggi tubuh kami. Dan, Ya ampun.
Hampir di balik seluruh poster yang tertempel di dinding itu kebanyakan
ada lubang untuk mengintip ke kamar sebelah. Aku sendiri memilih-milih
lubang, satu cukup tinggi dan satunya lagi di bawah, yang kalau kami
lihat harus berjongkok atau setengah tiduran.
Yang lain juga sudah mendapatkan
posisinya masing-masing. Dari balik lubang tempatku melihat tampak kamar
di sebelah tertata dengan apik. Di seberang sana menempel ke dinding
kanan ada ranjang, kemudian di sampingnya ada meja komputer, sedangkan
yang di sebelah kiri ada pintu lagi, kamar mandi. Dari lubang di bawah,
aku tidak dapat melihat banyak. Mungkin tepat di kolong meja. Meja
belajar maksudnya.
“Mar, jam berapa?” tanyaku, “ngga sabar nich.” sambil tiduran di lantai, sementara lampu di kamar tetap padam dan suasananya hening sekali.
“Sebentar lagi, biasanya sich jam-jam segini,” sahutnya bingung.
Eh, benar. Tidak lama terdengar pintu kamar ruang sebelah di buka dan setelah kami menunggu agak lama sedikit, perlahan-lahan kami mulai beraksi dengan membuka poster-poster sesuai pilihan kami masing-masing. Di kamar sebelah, kulihat ada cewek yang lagi minum langsung dari botolnya, dan tampak lehernya yang putih mulus dengan gerakan halus dari jakun yang sedang bekerja melancarkan air tersebut masuk ke tenggorokannya. Pemandangan ini membuat penisku mulai sedikit memberikan reaksi. Gila, pemandangan yang indah sekali. Cewek itu belum dapat kulihat dengan jelas. Yang pasti, rambutnya hitam, panjang sedikit melewati punggungnya dengan perawakan langsing dan tinggi sekitar 160 cm. Mengenakan kaos berwarna pink, tidak terlalu ketat dan rok mini yang juga berwarna pink. Pintu kamar mandi masih terbuka dan terdengar seseorang sedang menumpahkan air di sana dan ketika dia keluar. Ya ampun, aku kenal dengan anak ini. Si Andre, anak tehnik seangkatan dengan aku, dan kukenal doi karena sama-sama satu grup saat P4 dulu. Anaknya cukup supel dan aktif. Ketika kulihat lagi yang cewek, ternyata aku juga mengenalnya. Dia Irene, anak FE juga seangkatan denganku dan kami semua satu grup, Andre, Irene dan aku. Irene sendiri sempat dekat benar dengan aku, soalnya doi juga aktif dan sering berdiskusi dengan aku. Lebih tepatnya berdebat dalam session di P4 itu. Pokoknya seru kalau sudah berdebat dengan dia. Tetapi orangnya juga sportif. kalau aku benar dalam mempertahankan pendapat tentunya dengan jalan pikiran yang logis, pasti dia mengakuinya.
Selama acara P4 yang 2 minggu lebih itu,
Irene nempel terus ke aku. Dari aku sendiri suka-suka saja, soalnya aku
juga belum punya banyak teman saat itu, demikian juga dia. Apalagi
memang tidak ada ruginya dekat-dekat dengan cewek cantik. Dia dari
Pontianak dan tidak banyak anak Pontianak yang masuk Jakarta untuk
kuliah. Kalau si Andre sudah dari dulu dia mendekati Irene, jadi kami
berdua sering jalan bersama. Andre adalah anak Surabaya, sama dengan
Sandra, hanya saat itu aku lain group dengan Sandra, sehingga waktu itu
belum dekat benar. Hanya sekedar tahu saja. Memang sudah berulang kali
aku bertemu Iren sedang ngobrol bersama Andre. Akhirnya dapat juga Andre
mendekati Irene dan geli juga aku mengingatnya, sebab dari dulu Andre
juga pernah bertanya kepadaku, lebih tepat mancing-mancing perasaanku ke
Irene. Tetapi kubilang ambil saja kalau dia mau. Bubar P4 masih
seminggu lebih lagi, aku dekat dengan Irene, sebab kami sama-sama
diminta menjadi anggota tim perumus akhir P4. Sesudah itu kami bubaran
karena kuliahku teratur dari pagi jam 7 sampai jam 2 siang, sedangkan
doi tidak tentu. Sesudih itu aku juga tidak terlalu memperhatikannya.
Jadi semakin lama semakin jarang bertemu, sampai hari ini baru aku lihat
lagi.
Andre sempat mengecup pipi Irene sebelum
doi duduk dan sibuk di depan komputer, sedangkan Irene kemudian
berjalan menuju ke arahku. Semakin dekat.. dekat.. dekat.. Wah gawat,
aku menjadi deg.. deg.. degkan tidak menentu. Saat itu Irene begitu
dekat hingga bisa kulihat dengan hanya dibatasi dinding kayu. Kalau
ketahuan aku sedang mengintip kan tengsin juga aku. Walaupun hati ini
kebat-kebit, untung aku masih ingat benar ilmunya si Mardi. Jangan
sekali-kali bergerak kalau posisinya begitu, apalagi sampai mengangkat
mata dari lubang, karena akan ada sinar yang masuk melalui celah dan itu
bahaya besar, bisa membangkitkan perhatian. Kalau mungkin malah jangan
berkedip. Jadi kutahan mataku untuk menutup lubang itu, sambil berdoa
semoga tidak ketahuan, he.. he.. he.. Sudah salah masih minta slamat,
dasar manusia, jadi manusiawi.
Setelah agak lama Irene tenggelam dalam
kesibukannya dan aku merasa aman, perlahan kuangkat mata dari lubang itu
dan kututup kembali dengan poster. Kemudian aku pindah ke lubang yang
ada di bawah meja. Sekarang yang tampak adalah sepasang kaki yang sangat
indah hingga ke pangkal paha putih mulus dengan posisi kaki
disilangkan, yang kanan menindih yang kiri. Cukup lama aku mengagumi hal
ini dan kemudian tiba-tiba kaki tersebut bergerak. Sekarang ganti kaki
kiri yang menumpang di kaki kanan. Saat perpindahan itu sempat terlihat
CD doi. Kayanya warna pink juga tetapi sayangnya singkat sekali sehingga
tidak sempat kunikmati. Dengan sabar aku menanti kembali
gerakan-gerakan yang tentunya kuharapkan memberikan pandangan hidup yang
lebih baik lagi. Tetapi kok tidak kunjung tiba, sampai akhirnya
penantianku membuahkan hasil. Kakinya sedikit terbuka mengangkang dengan
tubuh yang mungkin di condongkan ke meja. Sekarang dapat ku lihat
belahan paha bagian dalam terus menyusur ke dalam dengan cahaya seadanya
(karena di kolong meja), terus ke dalam memberikan gairah tersendiri
yang tanpa sadar penisku juga sudah mulai menegang. Rasanya ingin segera
mencari lubang itu dan menyelami dasarnya. Doi memakai celana berwarna
pink dari bahan yang tidak terlalu tebal sehingga masih berbayang rumput
hitamnya yang cukup tebal di tengah.
Uh, indah sekali. Lima belas menit sudah
berlalu rasanya dan belum ada aktifitas lebih lanjut. Lama-lama pegel
juga mata dan bosan juga. Itu lagi itu lagi. Dan penisku juga sudah
mulai surut, sementara yang diintip diam saja. Lama-lama kakiku yang
kesemutan sendiri. Jadi kututup lagi lubang itu. Sekarang aku tiduran di
lantai disusul oleh yang lain. Bosan juga rupanya mereka. Orang tidak
ngapa-ngapain kok diintip. Samar-samar masih sempat kudengar hujan mulai
turun di luar dan rasanya belum terlalu lama aku tidur ketika kakiku di
sepak-sepak Paul. Sialan. Dalam hati, baru juga mau tidur sebentar saja
ada yang ganggu. Dan eh, langsung aku segera bangun, karena
teman-temanku sudah sedang asyik di posisi masing-masing. Hanya aku yang
ketinggalan. Rasanya aku tertidur tidak terlalu lama. Apa aku pules
benar ya?
Cepat-cepat saja kubuka lagi lubang yang punyaku dan segera kuintip.
“Hhhgg.. hgg..” desah Irene sambil mengacak rambut Andre. Kulihat Irene duduk di tepi ranjang, sedangkan Andre berlutut di hadapannya sedang sibuk menjilat belahan paha bagiandalam. Tubuh mulus bagian atas Irene sendiri sudah terbuka, demikian juga dengan branya yang tidak terlihat lagi ada dimana. Buah dadanya kencang sekali, cukup besar dan menantang. Gila, tubuhnya putih mulus benar. Nyesel juga, kenapa dulu tidak kuhajar saja. Saat itu penisku juga tidak tanggung-tanggung langsung bangun, tegang sekali. Sialan juga temen-temen yang lain, terlambat membangunkanku. Seperti apa permulaannya kan aku tidak lihat.
“Hhhgg.. hgg..” desah Irene sambil mengacak rambut Andre. Kulihat Irene duduk di tepi ranjang, sedangkan Andre berlutut di hadapannya sedang sibuk menjilat belahan paha bagiandalam. Tubuh mulus bagian atas Irene sendiri sudah terbuka, demikian juga dengan branya yang tidak terlihat lagi ada dimana. Buah dadanya kencang sekali, cukup besar dan menantang. Gila, tubuhnya putih mulus benar. Nyesel juga, kenapa dulu tidak kuhajar saja. Saat itu penisku juga tidak tanggung-tanggung langsung bangun, tegang sekali. Sialan juga temen-temen yang lain, terlambat membangunkanku. Seperti apa permulaannya kan aku tidak lihat.
“Aaacchh..” desah nikmat Irene seraya mendongakkan kepalanya ke belakang, dan leher jenjangnya benar-benar mempesona.
Kemudian tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang. Sungguh suatu paduan gerakan alami nan menawan. Sejurus kemudian dia membungkuk dan menarik kaos yang dikenakan Andre dan meletakkannya di lantai. Andre sendiri kemudian bangkit dan melepaskan celana yang dikenakannya termasuk celana dalamnya. Segera tampak senjata ampuh miliknya yang tentunya di sayang benar dan segera di lahap ujungnya perlahan oleh Irene, dan perlahan mulai mengocoknya berirama hingga pada akhirnya seluruh batang kemaluan itu tertelan oleh mulut Irene yang dihiasi bibir mungilnya. Milik Andre rasanya tidak sebesar punyaku, tapi yang di sana rupanya lebih beruntung dari yang punyaku, he he he.
Kemudian tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang. Sungguh suatu paduan gerakan alami nan menawan. Sejurus kemudian dia membungkuk dan menarik kaos yang dikenakan Andre dan meletakkannya di lantai. Andre sendiri kemudian bangkit dan melepaskan celana yang dikenakannya termasuk celana dalamnya. Segera tampak senjata ampuh miliknya yang tentunya di sayang benar dan segera di lahap ujungnya perlahan oleh Irene, dan perlahan mulai mengocoknya berirama hingga pada akhirnya seluruh batang kemaluan itu tertelan oleh mulut Irene yang dihiasi bibir mungilnya. Milik Andre rasanya tidak sebesar punyaku, tapi yang di sana rupanya lebih beruntung dari yang punyaku, he he he.
“Ren.. ach.. ach..” rintih Andre yang memuncak nafsunya.
Kemudian dikeluarkannya batang itu dan segera Andre mengangkat kaki Irene dan menarik celana dalam serta rok mininya dan terlepas seluruhnya. Tetapi tidak sempat kulihat dengan jelas, karena Irene segera tertidur di ranjang dan tertutup oleh bayangan pantat Andre yang segera merebahkan tubuhnya di atas tubuh Irene dan mereka mulai bergelut. Sesaat kemudian, Andre turun dari tubuh Irene dan perlahan membelai tubuhnya mulai dari telinga kanan, leher, menyusuri bahu berputar-putar di sana sejenak dan terus turun mendekat bukit nan menjulang sebelah kanan dan mendaki namun tidak sampai menyentuh puting. Justru puting itu diam-bil dari puncaknya dengan lidah Andre yang sekarang mulai aktif memainkan peranannya.
Kemudian dikeluarkannya batang itu dan segera Andre mengangkat kaki Irene dan menarik celana dalam serta rok mininya dan terlepas seluruhnya. Tetapi tidak sempat kulihat dengan jelas, karena Irene segera tertidur di ranjang dan tertutup oleh bayangan pantat Andre yang segera merebahkan tubuhnya di atas tubuh Irene dan mereka mulai bergelut. Sesaat kemudian, Andre turun dari tubuh Irene dan perlahan membelai tubuhnya mulai dari telinga kanan, leher, menyusuri bahu berputar-putar di sana sejenak dan terus turun mendekat bukit nan menjulang sebelah kanan dan mendaki namun tidak sampai menyentuh puting. Justru puting itu diam-bil dari puncaknya dengan lidah Andre yang sekarang mulai aktif memainkan peranannya.
“Ssshh.. achh..” rintih Irene nikmat.
Sekarang tangan kanan Andre sudah semakin menurun dan mencapai perut, terus turun tepat di jalur tengah menuju pusat, mulai menyibakkan rumput hitam lebat.
“Dre.. hhgg.. hhgg..”
Tangan kanan Andre sekarang sibuk tepat di pusat itu dan nampak Irene sangat menikmatinya. Perlahan kaki Irene sudah semakin terbuka lebar dan Andre pun sudah kembali mengambil posisi siap di atas. Perlahan Andre mulai menurunkan kaki ketiganya dan menembus, membuka liang nikmat itu perlahan tetapi pasti, seiring dengan kaki Irene yang panjang menekuk menyambut tamunya yang memberikan kenikmatan duniawi. Memang di sana adalah surga dunia. Andre bergerak perlahan memompa, yang tidak lama kemudian sudah seirama dengan gerakan Irene yang diiringi nafas memburu dari Andre dan desah lirih tiada henti dari Irene. Gerakan bergelombang itu membangkitkan minat para pengintip termasuk aku. Dan kuyakin di dalam sana burungku juga pasti sudah mulai kebasahan.
Sekarang tangan kanan Andre sudah semakin menurun dan mencapai perut, terus turun tepat di jalur tengah menuju pusat, mulai menyibakkan rumput hitam lebat.
“Dre.. hhgg.. hhgg..”
Tangan kanan Andre sekarang sibuk tepat di pusat itu dan nampak Irene sangat menikmatinya. Perlahan kaki Irene sudah semakin terbuka lebar dan Andre pun sudah kembali mengambil posisi siap di atas. Perlahan Andre mulai menurunkan kaki ketiganya dan menembus, membuka liang nikmat itu perlahan tetapi pasti, seiring dengan kaki Irene yang panjang menekuk menyambut tamunya yang memberikan kenikmatan duniawi. Memang di sana adalah surga dunia. Andre bergerak perlahan memompa, yang tidak lama kemudian sudah seirama dengan gerakan Irene yang diiringi nafas memburu dari Andre dan desah lirih tiada henti dari Irene. Gerakan bergelombang itu membangkitkan minat para pengintip termasuk aku. Dan kuyakin di dalam sana burungku juga pasti sudah mulai kebasahan.
Pada satu kesempatan, Andre melepaskan
penisnya dari genggaman liang vagina Irene, dan berbaring di samping
tubuh Irene, yang disusul oleh Irene menaiki tubuh Andre. Setelah Irene
menyibakkan rambutnya yang kusut ke belakang dia pun mulai mencari dan
memberikan pengarahan kepada burung Andre untuk mencapai sarangnya.
Sesaat kemudian gerakan mereka kembali berirama dan kulihat rambut Irene
sekarang mulai menempel di tubuhnya yang berkeringat. Hal itu
memberikan pemandangan indah tersendiri, terlebih ketika Irene
mendongakkan kepalanya meresapi kenikmatan yang datang. Sejurus kemudian
Irene membungkukkan tubuhnya ke depan dan bertumpu pada kedua lengannya
sementara pinggulnya terus memainkan gerakan indah berirama turun-naik
turun-naik berulang-ulang.
Irene menarik rambutnya ke depan dan menutupi buah dadanya yang sebelah
kiri, tidak terurai oleh karena sudah basah oleh keringat.
Diterangi cahaya lampu yang minim itu,
sekarang aku dapat melihat pundak dan punggung Irene yang putih mulus
itu mulai berminyak dan timbul bintik-bintik keringat licin yang semakin
mengoyak kesetiaan iman. Gerakan semakin binal dan menuju puncak hingga
pada suatu titik.
“Ren, nyam.. pe..” pekik Andre tertahan.
“Ren, nyam.. pe..” pekik Andre tertahan.
Saat itu pula segera Irene melepaskannya
dan menyambut semburan kental dari pipa milik Andre ke dalam mulutnya.
Masih sempat terlihat semburan yang pertama mengenai muka dan sedikit
rambut Irene sebelum seluruhnya tenggelam dalam kegelapan kerongkongan
Irene. Setelah terdiam beberapa saat, Andre bangkit dan mengangkat kaki
Irene ke atas dan segera lidah Andre terjulur memainkan klitoris milik
Irene, mulai dari gerakan perlahan namun segera menjadi cepat seiring
dengan bahasa tubuh Irene menggeliat kian kemari hingga akhirnya.
“Ach.. cchh,” desis Irene yang disertai dengan gerakan kakinya yang mengejang keras lurus mirip kaki ayam disembelih nikmat yang tiada tara.
“Ach.. cchh,” desis Irene yang disertai dengan gerakan kakinya yang mengejang keras lurus mirip kaki ayam disembelih nikmat yang tiada tara.
Dan, “Brukk..” derit ranjang itu
berbunyi pada saat Andre rubuh menjatuhkan tubuhnya untuk saling
berimpit bersentuhan dan menikmati sisa nikmat yang ada bersamanya. Kami
semua terdiam karena demikian terpesona menikmati live show yang baru
saja diperagakan lebih nikmat dibandingkan nonton BF yang seringkali
kami lihat bersama seusai kuliah ini.
0 comments:
Post a Comment